Reposisi Fungsi Ujian Nasional
Reposisi Fungsi
Ujian Nasional
Oleh: Tomi
Azami
Mahasiswa
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo
Sejak diselenggarakan sepuluh tahun lalu Ujian Nasional (UN) masih
menuai masalah. Kecurangan, bocornya
soal, sampai yang terbaru tertundanya UN karena terlambatnya distribusi soal tingkat
SMA di 11 propinsi. Dari awal penetapan UN sebagai standar kelulusan memang menuai
kontroversi. Pro dan kontra penyelenggaraan UN berfokus pada kefektifan
penyelenggaraan UN.
UN dianggap sebagai momok bagi siswa dan penyelenggara pendidikan.
Ketakutan siswa terhadap UN memang wajar. Tingginya standar kelulusan yang
ditetepkan menjadi sebab kekhawatiran berlebihan dikalangan siswa. Ditambah angka
ketidaklulusan yang selalu ada dari tahun ke tahun.
Tidak cukup sampai disitu, penerapan diselenggarakannya UN juga
dianggap salah. UN mestinya sebagai penggambaran keadaan sekolah sehingga diharapkan
kedepan akan dilakukan perbaikan demi majunya pendidikan nasional, namun dalam
penerapannya UN dijadikan standar kelulusan masing-masing siswa. Alasannya
pemerintah ingin mengetahui pencapaian kompentensi belajar siswa. Meskipun
aturannya sekarang berkembang bahwa UN menyumbang 40% dari kelulusan siswa sedang sisanya dari ujian sekolah, tetap saja UN
tetap menjadi penentu kelulusan. Inilah yang menjadi momok tersendiri bagi
siswa.
Selain itu banyak yang menganggap UN merebut hak pendidik. Jika Ujian
Nasional dianggap sebagai ajang pengukuran pencapaian kompetensi siswa, maka
tak ubahnya sama dengan evaluasi. Semestinya ujian atau kegiatan mengevaluasi
pencapaian siswa dilakukan oleh pendidik. Dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003
pasal 58 ayat 1 berbunyi Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh
pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta
didik secara berkesinambungan. Berdasarkan pasal tersebut jelas tertulis
bahwa yang berhak mengevaluasi hasil belajar adalah pendidik.
Pemerintah tetap mengevaluasi, namun ranahnya berbeda. UU No 20 Tahun
2003 pasal 59 ayat 1 mengatur hal tersebut. Dalam pasal itu tertulis Pemerintah
dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan. Jadi Evaluasi yang dilakukan oleh
pemerintah, hanya terhadap ranah penyelenggaraan pendidikan.
Ditengah Penyelenggaraan yang masih amburadul pemerintah malah
membuat sensasi lain. Wacana baru dari Kemendikbud yang ingin mengintegrasikan UN
dengan SNMPTN. Pengintegrasian ini dengan alasan efisiensi ujian, sehingga para
siswa tidak perlu melakukan ujian dua kali. Namun melihat parahnya
penyelenggaraan UN, serta tujuan UN dan SNMPTN yang berbeda, apakah layak
integrasi ini dilakukan. UN bertujuan mengukur kompetensi siswa sedangkan
SNMPTN merupakan sarana untuk menyeleksi calon mahasiswa baru, apakah mereka mempunyai
kompetensi sesuai dengan program studi yang dipilih atau tidak.
Perbaiki Sistem Pendidikan
Menurut penulis sebaiknya pemerintah tidak usah berfokus pada
penyelenggaraan UN. Tanpa UN pendidikan kitapun bisa maju. Tengoklah
ke Finlandia. Sistem pendidikan Finlandia adalah yang
terbaik di dunia. Sebagaimana dikutip dari BBC Indonesia, pada tahun 2010, rekor
prestasi belajar siswa yang terbaik di negara-negara OECD dan di dunia dalam
membaca, matematika, dan sains dicapai para siswa Finlandia dalam tes PISA. Sekolah Finlandia selalu mencapai peringkat tinggi dunia dalam
pendidikan dunia, meski murid di negara Eropa tersebut menjalani jam belajar
paling singkat di kalangan negara maju.
Salah satu yang dilakukan Finlandia adalah memercayakan evaluasi mutu pendidikan sepenuhnya kepada para guru sehingga negara berkewajiban melatih dan mendidik guru guru agar bisa melaksanakan evaluasi yang berkualitas.
Bukan bermaksud membandingkan, karena memang harus diakui
pendidikan kita kalah jauh. Namun kita dapat mengambil hal positif dari Finlandia
demi kemajuan pendidikan kita. Kita bisa belajar dari Finlandia. Indonesia bisa
semaju finlandia, bahkan lebih. Salah satu caranya dengan memperbaiki sistem
pendidikan nasionalnya agar Indonesia bisa bersaing dengan negara lain.
Berkaca pada bobroknya penyelenggaraan UN sejak sepuluh tahun yang
lalu sampai sekarang, mestinya pemerintah mengkaji ulang mengenai hal ini.
Tulisan ini bukan untuk menuntut pengapusan UN, tetapi lebih ke reposisi fungsi
UN. Penulis setuju diselenggarakan UN, dengan catatan bukan sebagai ujian
kelulusan tetapi lebih ke pemetaan kualitas pendidikan. Melalui UN pemerintah
mengetahui sekolah mana saja yang sudah bagus dan sekolah mana saja yang perlu
diperhatikan lebih dan dilakukan perbaikan guna peningkatan mutu pendidikan
nasional. Inilah fungsi sebenarnya adanya UN.
Pemerintah sebaiknya berfokus pada meratanya pendidikan di
Indonesia. Jika sudah merata barulah pelan-pelan memperbaiki kualitas
pendidikannya. Rasanya tidak etis jika pendidikan di Indonesia belum merata
kualitasnya namun dilakukan ujian yang dilakukan untuk mengukur kualitas dengan
alat ukur yang sama. Dilihat dari segi sekolah saja sudah berbeda antara
sekolah di kota dengan di desa. Sekolah di Jawa dengan luar jawa, apalagi sekolah
di daerah-daerah timur Indonesia yang kebanyakan belum terjamah oleh pemerintah.
Memiliki
sistem pendidikan yang maju memang tidak secara instan, harus perlu adanya
proses. Jika prosesnya benar maka
kita hanya harus menikmati proses dan sabar menanti hasil yang akan kita petik
nanti.
Reposisi Fungsi Ujian Nasional
Reviewed by TomiAzami
on
11:54
Rating:
No comments:
mau main balik gimana wong alamatmu gak ada