Kereta Pelepas Dahaga
“Mas Jablud, minggu
depan mau pulkam?” isi sms masuk dari Jum ke hapenya Jablud pada kamis sore.
Jum adalah adik kelas Jablud pas SMA di salah satu daerah di
Tegal. Sekarang mereka lanjut kuliah di kota yang sama, Semarang, tapi berbeda
universitas. Jum juga merangkap sebagai cinta diam-diamnya Jablud. Jablud gak
berani melangkah lebih jauh karena saat ini Jablud sedang duduk dengerin dosen
ceramah.
Jablud menganggukkan kepala. Dia lupa kalau dia lagi smsan. Akhirnya
dia ngetik *mengganggukkan kepala* terus pejet ‘send’
“Mau bareng sekalian gak? ini aku ada di stasiun, mau beli
tiket.”
“Iya nitip sekalian, kalau gak ngerepotin.”
“Oke, Mas. Mau nomor tempat duduk berapa?”
“Terserah kamu, tapi kalau bisa jangan yang lawan arah sama
jalannya kereta ya?”
Jablud emang agak cemen. Gampang merasa pusing. Masa cuma
naik kereta ngadep ke belakang aja pusing. Memang apapun itu, kalau melihat ke
belakang bikin pusing. Misalnya, masa lalu. Makanya kalau dia dapat tempat
duduk yang berlawanan dengan arah jalannya kereta, dia lebih memilih duduk di
bawah. Di bawah kereta, mepet rel.
“Ya mana aku tahu mana yang lawan arah atau searah. Yang
searah biasanya nomor berapa sih?” Jum kembali sms.
“Enggak tahu, ya terserah Dek Jum dah. Aku percaya sama kamu.”
Sms Jablud berbau kode.
“Oke, kita duduk sebangku ya?”
“Boleh, nomornya terserah deh. Madep belakang juga gak papa.
Kalau aku mumet alias pusing kan ada Dek Jum ngerawat.” Kodean Jablud semakin
frontal.
“Ngerawat? Hih -___- Doanya tuh jangan mumet. Harus seneng.”
Jablud tersenyum. Dia akan jalan bareng Jum. Bukan jalan
ding, duduk bareng di dalam kereta. Jarak antara Semarang-Tegal kira-kira 3,5
jam pake kereta. Jablud merasa udah kaya di film 3 hari untuk selamanya.
Bedanya ini pakai kereta, dan hanya 3,5 jam. Jadinya 3,5 jam untuk selamanya.
Hari H pun tiba. Rabu sore pekan kedua bulan Mei tahun 2013. Kebetulan
hari kamis tanggal merah. Bagi mahasiswa rantau, tanggal merah pas hari Jumat
atau senin adalah berkah. Lah ini tanggal merahnya kamis. Jumatnya jadi
Harpitnas, Hari Kejepit Nasional. Sekalian aja Jumat bolos. Benar-benar
mahasiswa teladan.
Yah begitulah jalan pikiran jablud. Apalagi hari ini lebih
spesial karena dia akan pulang bareng Jum. Cinta diam-diamnya.
Jablud berusaha berpenampilan se-cihuy mungkin untuk bikin
Jum terkesan. Jablud pakai jeans yang masih kinclong, kaus dan dilapisi jaket abu-abu
dengan resletingnya dibiarkan terbuka. Resleting celananya juga. Sayangnya Jablud
pake sandal jepit. Udah gitu tasnya menggembung, isinya pakaian kotor. Malah
kaya musafir yang sering mampir musala. Salah kostum. Terlihat menarik sih,
tapi bagi petugas dinas sosial.
Sesampainya di stasiun, Jablud sms Jum.
“Posisi?”
“Lagi beli roti.”
Jablud duduk di kursi panjang dekat pintu masuk pemeriksaan tiket.
Kata Jum, Jablud suruh nunggu disitu.
“Dorrr…” kata Jum sambil menepuk pundak Jablud pakai white board.
“Dorrr…” kata Jum sambil menepuk pundak Jablud pakai white board.
Jablud terperanjat. Kedua bahunya naik 2,5 mm selama 0,1
detik. Lalu turun lagi. Gak tahu berapa gaya, GLB, dan GLBB yang ditimbulkan.
Pas nengok, Jablud mendapati Jum sudah berdiri disampingnya dengan membawa sebungkus roti bakar. Jum memakai baju krem yang dimasukkan ke rok panjang bahan berwarna hitam. Senada dengan sepatunya. Tas hitam setia memeluk punggungnya. Jilbab hitam tersapu angin sore membuat Jum tampak anggun dan manis.
“Maaf mbak, saya gak tertarik ikut MLM.” Kalimat itu yang keluar pertama dari mulut Jablud.
Pas nengok, Jablud mendapati Jum sudah berdiri disampingnya dengan membawa sebungkus roti bakar. Jum memakai baju krem yang dimasukkan ke rok panjang bahan berwarna hitam. Senada dengan sepatunya. Tas hitam setia memeluk punggungnya. Jilbab hitam tersapu angin sore membuat Jum tampak anggun dan manis.
“Maaf mbak, saya gak tertarik ikut MLM.” Kalimat itu yang keluar pertama dari mulut Jablud.
“Hih mas, mah, ini dari kampus tau, gak ke kos dulu.” Jum
menggembungkan pipi. Terlihat menggemaskan.
“Iya, guyon.” Jablud mengeluarkan candaan. Dia berusaha
mati-matian untuk terlihat ‘biasa saja’ di hadapan Jum. Padahal dalam hatinya, “Buseeet
Jum, cantik amat kamu dengan penampilan seperti itu.”
“Mau roti?” Jum menawarkan setelah duduk di sebelah kiri Jablud.
“Mau roti?” Jum menawarkan setelah duduk di sebelah kiri Jablud.
“Gak ah, takut ndut, buat kamu aja.” Jablud mencoba terlihat
cool. Dalam hati, “Iya sini, lapar
nih, belum sempet makan tadi.”
“Hih maksudnya Jum terlihat gendut gitu, Mas Jablud jahat.”
Jum mengayunkan kapak ke bahu Jablud.
Cewek mah gitu, suka sensi sama kata 'gendut' padahal niatnya kan gak ngatain. Tapi itu bukan masalah bagi Jablud. Jablud terlihat sangat bahagia dengan momen ini. Ia menikmati semuanya. Ngejahilin Jum dan mendapat luka menganga di bahunya. Jablud akan lebih bahagia kalau dia bisa ikut mencicipi roti bakar yang dipegang Jum.
“Ini tuh gak bikin gendut ya, lagian tadi tuh belum makan siang.”
Cewek mah gitu, suka sensi sama kata 'gendut' padahal niatnya kan gak ngatain. Tapi itu bukan masalah bagi Jablud. Jablud terlihat sangat bahagia dengan momen ini. Ia menikmati semuanya. Ngejahilin Jum dan mendapat luka menganga di bahunya. Jablud akan lebih bahagia kalau dia bisa ikut mencicipi roti bakar yang dipegang Jum.
“Ini tuh gak bikin gendut ya, lagian tadi tuh belum makan siang.”
Dalam hati Jablud berkata, “Sama! gue juga! bagi sinih!”
Tapi Jablud udah terlanjur menolak, dia gengsi mau nyicipin. Mau beli, gak enak. Nanti dikira gak ngehargain tawaran Jum. Jablud pun hanya bisa menikmati aroma roti bakar dengan bungkus berwarna cokelat itu. Gengsi mengalahkan lapar.
“Nanti di kereta aku nyambi nugas ya, Mas.” Kata Jum, setelah melahap setengah roti bakar.
Tapi Jablud udah terlanjur menolak, dia gengsi mau nyicipin. Mau beli, gak enak. Nanti dikira gak ngehargain tawaran Jum. Jablud pun hanya bisa menikmati aroma roti bakar dengan bungkus berwarna cokelat itu. Gengsi mengalahkan lapar.
“Nanti di kereta aku nyambi nugas ya, Mas.” Kata Jum, setelah melahap setengah roti bakar.
“Monggo, kalau gak bisa, tanya aku.” Jawab Jablud. Padahal dalam
hati Jablud berkata, “Jangan, gue pengin ngobrol banyak sama lo. Jangan jadikan
gue lampu belajar lo. Karena gue gak botak.”
Sore itu senja bersembunyi, tertutup atap stasiun yang
menghitam karena sering kena asap. Nampak dari kejauhan kereta Kaligung datang.
Kereta berwarna oranye berhenti dengan gemulai. Kereta pelepas dahaga akan
rindu berkumpul bersama keluarga di kampung halaman. Kereta yang akan jadi saksi
bisu Jablud dan Jum menghabiskan waktu, duduk berdua, dan membicarakan banyak
hal.
Mereka duduk di kursi dengan nomor sesuai dengan tiket. Beruntung bagi Jablud, tempat duduknya searah dengan jalannya kereta dan dekat dengan pintu. Di depan mereka gak ada kursi penumpang, bebas slonjoran, karena lutut mereka tidak beradu dengan penumpang lain.
Jablud dan Jum terlibat obrolan panjang. Kuliah, kesibukan, sampai trend sulam alis. Dari situ Jablud tahu kalau Jum aktifis holic. BEM, HIMA, UKM, Persatuan jurusannya semua dijabanin. Tidak berbeda saat jaman SMA.
Dulu pas SMA, Jum pengurus OSIS. Jablud juga pengurus OSIS, Organisasi Siswa Iseng Spion. Kegiatannya secara rutin muter-muterin spion motor di parkiran. Jablud memimpin teman-temannya untuk jadi pasukan pemutar spion. Pas istirahat, jeda jam pelajaran, pas mau ke WC, spion motor siapa aja yang dilintasinya menjadi korban.
Sekarang Jum sibuk ngurus Himpunan Mahasiswa (Hima) bahkan sempat jadi ketua Ospek Jurusan. Udah manis, anggun, kuliah di Universitas ternama, aktivis pula. Lengkap. Jauh banget sama Jablud yang kaya rengginang gak renyah dan cuma aktivis kos. Job desk-nya ngoordinasi siapa saja yang giliran nguras bak mandi.
Sampai suatu momen, diantara keheningan. Jablud bertanya, “Katanya mau nugas?”
Mereka duduk di kursi dengan nomor sesuai dengan tiket. Beruntung bagi Jablud, tempat duduknya searah dengan jalannya kereta dan dekat dengan pintu. Di depan mereka gak ada kursi penumpang, bebas slonjoran, karena lutut mereka tidak beradu dengan penumpang lain.
Jablud dan Jum terlibat obrolan panjang. Kuliah, kesibukan, sampai trend sulam alis. Dari situ Jablud tahu kalau Jum aktifis holic. BEM, HIMA, UKM, Persatuan jurusannya semua dijabanin. Tidak berbeda saat jaman SMA.
Dulu pas SMA, Jum pengurus OSIS. Jablud juga pengurus OSIS, Organisasi Siswa Iseng Spion. Kegiatannya secara rutin muter-muterin spion motor di parkiran. Jablud memimpin teman-temannya untuk jadi pasukan pemutar spion. Pas istirahat, jeda jam pelajaran, pas mau ke WC, spion motor siapa aja yang dilintasinya menjadi korban.
Sekarang Jum sibuk ngurus Himpunan Mahasiswa (Hima) bahkan sempat jadi ketua Ospek Jurusan. Udah manis, anggun, kuliah di Universitas ternama, aktivis pula. Lengkap. Jauh banget sama Jablud yang kaya rengginang gak renyah dan cuma aktivis kos. Job desk-nya ngoordinasi siapa saja yang giliran nguras bak mandi.
Sampai suatu momen, diantara keheningan. Jablud bertanya, “Katanya mau nugas?”
“Gak ah, di rumah aja. Pengin ngobrol aja sama Mas Jab.”
Kata Jum, santai.
“Wah jadi gak enak,nih, ganggu.” Dalam hati, “wih asyiiik. Ini
yang gue tunggu.”
“Lagian gak enak sama orang sekitar, takut dikira sok rajin
garap tugas, hehe.” Jum terkekeh. Tertawanya lepas, matanya menyipit.
Sepanjang perjalanan, mereka bercerita dan bercanda. Sembari menimati kripik yang dibeli Jablud sama mas-mas pramuniaga kereta. Diselimuti suasana gelap di luar jendela dan suara kereta yang terdengar seperti orchestra mengiringi obrolan panjang Jablud dan Jum.
Sepanjang perjalanan, mereka bercerita dan bercanda. Sembari menimati kripik yang dibeli Jablud sama mas-mas pramuniaga kereta. Diselimuti suasana gelap di luar jendela dan suara kereta yang terdengar seperti orchestra mengiringi obrolan panjang Jablud dan Jum.
TIINGTONGTONG
“Selamat datang para penumpang, saat ini perjalan anda tiba
di stasiun Tegal. Sebelum meninggalkan tempat duduk anda, periksa kembali
barang bawaan anda.” Suara mas-mas terdengar dari pengeras suara.
“Wah gak nyangka ya, mas, udah sampai aja.” Kata Jum, sambil mengemasi barang bawaannya.
“Wah gak nyangka ya, mas, udah sampai aja.” Kata Jum, sambil mengemasi barang bawaannya.
“ho-oh gak kerasa ngobrol sama kamu.” timpal Jablud, sambil
berdiri untuk mengambil tas di bagasi yang memanjang diatas kursi penumpang. Tak
lupa dia mengambilkan tas hitam milik Jum. Jablud ngerasa kaya iklan Hi-Lo,
tumbuh tuh ke atas bukan ke samping. Samping Lima Semarang.
Jum meraih tas hitamnya yang disodorkan Jablud. “Makasih. Next, sering-sering ya, Mas.”
Jum meraih tas hitamnya yang disodorkan Jablud. “Makasih. Next, sering-sering ya, Mas.”
“Ngobrolnya?”
“Bukan, ngambilin tasnya.”
Jablud ngemut pegangan kereta.
Mereka berjalan beriringan bersama penumpang lain keluar kereta. Stasiun malam itu sangat ramai. Selain mahasiswa yang rindu masakan mama, ada pekerja yang ingin menyapa ayah bunda. Ada yang kerepotan membawa oleh-oleh. Ada yang hanya menggendong tas ransel. Ada yang menyapu kereta. Ternyata itu petugas. Ekspresi capek bercampur gembira tergurat di raut wajah para penumpang.
Jablud dan Jum berpisah di pintu keluar. Jum menuju parkiran tempat mobil ayahnya menjemput. Sementara Jablud menuju pangkalan angkot buat menyapa rekan kerjanya. Eh, enggak, Jablud mau naik angkot lalu berganti naik bus menuju rumahnya. Sebenarnya Jablud ditawari bareng sama Jum, tapi Jablud menolak dengan halus, takut ngerepotin. Lagian kalau dari stasiun, rumah Jablud lebih jauh dibanding rumah Jum.
Sampai di rumah, setelah mandi, Jablud melakukan ritual anak gaul, membuka sosmed. Dia berniat pasang status. Tapi pas lagi loading, dia cancel. Jempolnya mengarah ke menu create message.
Menurut artikel google yang jablud pernah baca, kalau habis jalan bareng, ucapkanlah makasih dan rasa senang. Biar dia ngerasa istimewa. Jadi Jablud berniat sms dengan isi “makasih buat hari ini ya, aku seneng.”
Tapi Jablud segera menghapus tulisan itu. Dia mendadak teringat adegan di salah satu FTV. Menurut FTV yang sering ia tonton, itu sih perannya cewek. Jadi kalau cewek seneng habis jalan, nyampe rumah ia akan sms si cowok buat ngucapin terima kasih dan seneng. Cowok hanya bales “iya” beuhh cool abis.
Jablud nunggu sms Jum gak masuk-masuk. Dia buka sosmed, kepoin jum, dia gak update apa-apa. Padahal Jablud tahu, Jum tipe anak semi eksis dan kekinian. Akun sosmednya banyak. Facebook, twitter, path, line, instagram, instakilogram. Jum juga sering update “lagi disini nih, with bla bla bla.” Apa jangan-jangan Jum langsung tidur, tanpa gosok gigi dulu. Nanti ada sisa roti bakar dan kripik dong.
Mereka berjalan beriringan bersama penumpang lain keluar kereta. Stasiun malam itu sangat ramai. Selain mahasiswa yang rindu masakan mama, ada pekerja yang ingin menyapa ayah bunda. Ada yang kerepotan membawa oleh-oleh. Ada yang hanya menggendong tas ransel. Ada yang menyapu kereta. Ternyata itu petugas. Ekspresi capek bercampur gembira tergurat di raut wajah para penumpang.
Jablud dan Jum berpisah di pintu keluar. Jum menuju parkiran tempat mobil ayahnya menjemput. Sementara Jablud menuju pangkalan angkot buat menyapa rekan kerjanya. Eh, enggak, Jablud mau naik angkot lalu berganti naik bus menuju rumahnya. Sebenarnya Jablud ditawari bareng sama Jum, tapi Jablud menolak dengan halus, takut ngerepotin. Lagian kalau dari stasiun, rumah Jablud lebih jauh dibanding rumah Jum.
Sampai di rumah, setelah mandi, Jablud melakukan ritual anak gaul, membuka sosmed. Dia berniat pasang status. Tapi pas lagi loading, dia cancel. Jempolnya mengarah ke menu create message.
Menurut artikel google yang jablud pernah baca, kalau habis jalan bareng, ucapkanlah makasih dan rasa senang. Biar dia ngerasa istimewa. Jadi Jablud berniat sms dengan isi “makasih buat hari ini ya, aku seneng.”
Tapi Jablud segera menghapus tulisan itu. Dia mendadak teringat adegan di salah satu FTV. Menurut FTV yang sering ia tonton, itu sih perannya cewek. Jadi kalau cewek seneng habis jalan, nyampe rumah ia akan sms si cowok buat ngucapin terima kasih dan seneng. Cowok hanya bales “iya” beuhh cool abis.
Jablud nunggu sms Jum gak masuk-masuk. Dia buka sosmed, kepoin jum, dia gak update apa-apa. Padahal Jablud tahu, Jum tipe anak semi eksis dan kekinian. Akun sosmednya banyak. Facebook, twitter, path, line, instagram, instakilogram. Jum juga sering update “lagi disini nih, with bla bla bla.” Apa jangan-jangan Jum langsung tidur, tanpa gosok gigi dulu. Nanti ada sisa roti bakar dan kripik dong.
Tadi pas di kereta, ekspresi Jum riang gembira. Tapi Jum gak
kunjung update.
“apa dia takut nanti ‘di-ciye-ciye-in’ bareng gue yah?”
pikiran Jablud mulai menerka.
Jablud pun urung update di sosmed kalau dia habis bareng Jum. Jablud takut Jum dapet ‘ciye-ciye’ sama temannya. Jablud gak mau jadi penyebab Jum dikucilkan di ekosistemnya gara-gara pulang bareng primata bersendal jepit.
“Nanti Jum malah ngejauh.” Batin Jablud.
Jablud melempar pelan hapenya ke kasur. Diikuti badannya yang ia lempar sendiri. Iya, Jablud pegang kerah belakang kausnya, lalu dilempar ke atas kasur. Dia melihat langit-langit kamarnya. Ada sarang laba-laba. Laba-labanya tajir. Soalnya ada taman di halaman sarangnya, lengkap dengan bangku taman dan free wifi. Terihat sang laba-laba lagi asik stalking.
Pandangan Jablud beralih ke jendela. Kusennya yang belum dipelitur dan susunan kaca yang terlihat baru dilap siang tadi. Membuat taburan bintang terlihat bekerlip di langit. Sedetik kemudian ingatannya kembali beberapa jam yang lalu.
Jablud ingat pada satu obrolan bareng Jum pas di kereta. Jum bercerita kalau dia pengin banget keliling dunia. Ia ingin menciptakan kenangan di setiap tempat yang dikunjunginya. Karena saat itu Jablud gak bawa globe, akhirnya Jablud hanya mengamini, sambil diam-diam ngambil kripik yang tergeletak diantara mereka.
“I hope you can, together with me.” Guman Jablud.
Jablud tersenyum. Dimatikannya lampu kamar. Ditariknya sarung biru dengan motif kotak-kotak.
Jablud pun urung update di sosmed kalau dia habis bareng Jum. Jablud takut Jum dapet ‘ciye-ciye’ sama temannya. Jablud gak mau jadi penyebab Jum dikucilkan di ekosistemnya gara-gara pulang bareng primata bersendal jepit.
“Nanti Jum malah ngejauh.” Batin Jablud.
Jablud melempar pelan hapenya ke kasur. Diikuti badannya yang ia lempar sendiri. Iya, Jablud pegang kerah belakang kausnya, lalu dilempar ke atas kasur. Dia melihat langit-langit kamarnya. Ada sarang laba-laba. Laba-labanya tajir. Soalnya ada taman di halaman sarangnya, lengkap dengan bangku taman dan free wifi. Terihat sang laba-laba lagi asik stalking.
Pandangan Jablud beralih ke jendela. Kusennya yang belum dipelitur dan susunan kaca yang terlihat baru dilap siang tadi. Membuat taburan bintang terlihat bekerlip di langit. Sedetik kemudian ingatannya kembali beberapa jam yang lalu.
Jablud ingat pada satu obrolan bareng Jum pas di kereta. Jum bercerita kalau dia pengin banget keliling dunia. Ia ingin menciptakan kenangan di setiap tempat yang dikunjunginya. Karena saat itu Jablud gak bawa globe, akhirnya Jablud hanya mengamini, sambil diam-diam ngambil kripik yang tergeletak diantara mereka.
“I hope you can, together with me.” Guman Jablud.
Jablud tersenyum. Dimatikannya lampu kamar. Ditariknya sarung biru dengan motif kotak-kotak.
sumber gambar:
https://www.flickr.com/photos/pandu076/7240199366/
http://memegenerator.net/instance/54635473
Kereta Pelepas Dahaga
Reviewed by Tomi Azami
on
10:30
Rating:
Ide ceritanya gue suka. Keren! Keep it up!
ReplyDeletewihh dipuji sama penulis.. suwuuun banget mas.
DeleteAda ya sms *menganggukkan kepala*
ReplyDeleteHeheh..
Namanya kok Jablud sih? :|
gatau. ujug2 terlintas di kepala aja.
Deletejabludd lucu juga namanya
ReplyDeletemau nama Richard kayaknya gak pantes
DeleteBikin tulisan kayak gini lebih banyak Tom. Masukin sisi islami. Terus kirim ke WahyuQolbu. Mereka nyari naskah komedi islami katanya. Carilah infonya. Gih! Dari pada nulis absurd mulu. Udah waktunya elu bikin naskah. Gue serius :*
ReplyDeleteaaarggg... aa hadi. maaciw.
Deleteaamiin. semoga bisa. masih berjuang ngalahin mood dan males.
banyakin baca buku aja tom. kata orang begitu.
DeleteJadi pengen pelihara laba-laba kaya deh...
ReplyDeletehehe
nice stoy! :)
aku jual lho, minat. PM.
Deletemakasih :)
wah ceritanya riingan banget buat dibaca pas jam-jam kerja gini.
ReplyDeletekeren mas tomi ^_^