Lepas Paksa
Gue baru saja pulang kuliah ketika mendapati ada pengumuman
menempel di lorong menuju kamar. Pengumuman yang berisi perintah suruh cabut dari
kos.
Gue konfrimasi ke tangan kanan pemilik kos.
“meh direnov sek, mas, dadi akhir Nopember kudu kosong.”
Gue sih antara percaya gak percaya beneran di renov. Modus aja
ini mah. Soalnya kos gue emang lagi banyak masalah.
Empunya kos gue itu Kiai asal rembang, Gus Zaim. Kami biasa
memanggil Abah. Abah beli rumah ini dari Kiai Mansyur tahun 2011. Gue udah kos
disitu sejak 2010. Bisa dibilang juru kunci senior lah. Merasakan
atmosfer yang berbeda saat rezim Kiai Mansyur dan Abah.
Di bawah menejemen Abah, urusan kos dipasrahkan pada salah
satu santrinya, jadi tangan kanan lah. Santrinya ini tinggal disitu untuk
mengurusi rumah itu. Gue kalau bayar atau ada keluhan ngomongnnya sama orang
itu, tapi tidak menerima kalau konsultasi asmara yang terus kandas. namanya Mas Burhan.
Kos kami terdiri dari dua lantai. Lantai atas jadi kos, bawah ditempati Mas Burhan. Entah gimana awalnya tiba-tiba ada orang yang ikut
nempatin di bawah. Kata Mas Burhan sih dia aktivis pergerakan. Tinggal disitu
setelah bertamu dan mendapat izin dari Abah. Mas Burhan tidak kenal. Terus mas aktivis tadi
bawa temen, temennya bawa temen, temennya temen bawa temen, gitu terus sampai kamu
bales chat aku.
Abah taunya sering diadakan diskusi atau acara khas
pergerakan. Padahal mah Cuma pada numpang tidur, mandi, nyuci, masak, dan eeq.
Yang terjadi, jatah air yang harusnya buat anak 12 + Mas
Burhan kudu berbagi sama belasan anak yang gak jelas siapa mereka. Alhasil kami
sering kekurangan air. Nyuci susah. Gue jadi jarang mandi. Kalau ini sih emang
males aja.
Perbulan kami bayar, anak bawah gratis, padahal sama-sama
menggunakan fasilitas kos. Ini Negara kemana. Takbir~
Allahuakbar |
Pernah suatu hari Abah ngumpulin semua penghuni. Anak atas
lengkap. Anak bawah cuma pentolannya, para penumpang gelap mendadak hilang. Keren.
Abah Zaim > Master Dedi. Dedi Mizwar. Di pertemuan itu kita banyak bicara
banyak hal. Salah satu kesimpulannya, anak bawah ditariki duit buat listrik.
Lepas pertemuan itu semua tidak berjalan lancar. Puncaknya ketika
liburan semester banyak penghuni pada
pulang kampung. Gue ada keperluan jadi sebentar doang di kampung. Pas sampe
kos, meteran listriknya raib. Kabar dari marbot masjid katanya dicopot PLN
setelah nunggak 3 bulan. Rasanya kyubi dalam diri gue mau bangkit.
Gue SMS Mas Burhan (saat itu gak di kos), katanya gak tau,
uang kosan sudah disetor ke istrinya Abah secara full. Biasanya uang anak kos
dipotong iuran tetek bengek baru disetor. Ini katanya listrik dibayar anak
bawah jadi Mas Burhan setor full.
Gue sih sebenarnya gak peduli soal full atau gak. Kalaupun uang
kos digelapin dia,misalnya, juga bukan urusan gue. Yang penting gue bayar dan
dapet fasilitas sesuai apa yang gue bayar.
Setelah dilunasi –yang gue gak peduli teknisnya– akhirnya
meteran dipasang lagi. Ganti yang model meteran listrik token. Dulu mah yang model
jadul. Permasalahan belum usai, pulsa listrik sering habis dan gak segera
diisi. Kadang setengah hari, kadang sehari, pernah dua hari gak ada yang beli.
Anak atas gak ada yang beli karena katanya listrik itu tanggung jawab anak
bawah, sesuai kesimpulan pertemuan lampau. Masa iya kami nombok. Pedes dong.
Sebenarnya ini menimbulkan kecemburuan. Selisih bayar anak
atas dan anak bawah cukup jauh. Padahal sama-sama menikmati listrik dan air. Giliran listrik mati, seluruh penghuni juga
kena imbas. Gue bayar tapi gak dapet apa yang mestinya gue dapet. Secara kuantitas,
anak atas tetep 12, anak bawah masih tidak jelas. Datang dan pergi, gonta ganti
orang, maunya apasih.
Huh sebal.
Suka komentar bagikan
Dari situ kayaknya Abah ingin ada perubahan. Ada reformasi. Tapi
yang salah adalah model reformasinya. Semua penghuni suruh hengkang dengan
alasan mau renovasi. Modus untuk menutupi kebijakan tanpa menampung saran
sebelumnya. Kami anak atas yang gak berulah ikutan kena. Ibarat mau bunuh tikus
tapi bakar seluruh ladang.
Keren juga ini berasa tulisan buat orasi hhhh~
Kalau gue jadi pemilik kos sih, gue gak bakal bakar ladang. Kan
gak punya ladang, punya-nya kos. Ehe~
Gini, menurut gue sih, depak semua anak bawah. Tegas. Atau kalau gak
anak bawah bayar sewa kost tiap bulannya. Dibatasi berapa orang dan didata
siapa aja. Tapi mau dikatakan apalagi kita tak akan pernah satu. Engkau disana
aku disini meski hati kita Mars Perindo~~~
Berpisah sama yang udah bareng selama 6 tahun dengan cara tidak
elegan ini bikin sakit. Dipaksa merelakan pergi karena akan ada yang baru. Ada intrik
yang bukan berasal dari gue dan mau gak mau gue harus melepaskan. Nyesek sih, kaya disuruh putus
karena pas lagi sayang-sayangnya, bapaknya gak setuju, dan dia mau nikah sama
yang lain.
Lepas Paksa
Reviewed by Tomi Azami
on
17:29
Rating:
waaah, aku ikutan emosi sama anak-anak bawah nih jadinya! hmm.
ReplyDeletegak adil banget ya rasanya kita nggak ngelakuin apa-apa tapi malah ikut kena imbasnya juga. apalagi mas tomi udah ngekos selama, 6 taun?!! ENAM TAHUN? MANTAP JIWA!
lah si abah itu nggak tau emang siapa biang keroknya? hih gemez jadinya!
hadeuuuh.. itu anak bawah dari mana asalnya, apa mereka itu kelompok teroris level anak kost. :D
ReplyDelete"Modus untuk menutupi kebijakan tanpa menampung saran sebelumnya" banyak dilakuin sama orang2 yg suka seenaknya, biasanyee
ReplyDeleteHahahh, penderitaan anak kos. Tpi ini versi anak kos yg sistem kosan nya otoriter. Kliatan perbedaan kelasnya, anak kelas bawah dn anak kelas atas.
ReplyDeleteIni tulisan kyknya 60 % curhat 40% dakwah. Takbir!
yang terpenting anakkost itu emang keren .... rugi ga jadi anakkost..
ReplyDelete