Kita Kapal. Bukan Kereta
“Mbak tiket satu,
yang duduknya searah dengan kereta, ya.”
Empat tahun. Empat tahun lalu aku mengatakan hal yang sama
padamu. Saat kamu menawarkan tiket untuk pulang kampung bareng. Aku agak
pusing jika harus duduk berlawanan dengan arah jalannya kereta. Kamu ingat?
Tidak ya?
Tidak ya?
Ini pertama kali aku naik kereta lagi setelah empat tahun. Seingatku,
kali terakhir naik kereta ketika bersamamu. Kita duduk dalam kereta yang sama. Di
kursi kereta yang sama. Jikalau aku dan kamu tidak bisa duduk di kursi pelaminan. Setidaknya aku dan kamu
pernah duduk di kursi kereta yang sama.
iya, aku pakai kata "aku dan kamu" karena aku dan kamu tidak pernah menjadi kami.
Mestakung, rames tahu kangkung semesta mendukung. Ketika aku dan kamu duduk di kursi dan memperbincangkan suatu topik, ada seseorang yang
mengabadikan lalu diunggah di grup facebook, komunitas berisikan mahasiswa yang
menggunakan kereta api sebagai alat mudik.
Sebenarnya seseorang ini adalah rail fans yang sedang
melaporkan situasi di gerbong kereta. Aku tahu dari teman yang mengomentari
postingan itu sembari menandai akun facebook-ku. Kesan pertama saat melihat, “lah
kok aku kusem banget kaya kertas buram coret-ceretan UAS Matematika.”
Kau tau, aku merasa Tuhan telah memerintahkan salah satu hamba-Nya
untuk mendokumentasikan momen kita.
*
Mataku menerawang ke luar jendela. Ini yang kusuka dari kereta. Tuhan menyuguhkan karya seni yang beragam. Panorama sawah,
pohon, laut, deretan rumah, pasar. Tak jarang raut wajah pengendara motor yang sebal
karena perjalanannya terhambat portal yang melintang.
Dari sekian karya Tuhan, masih ada yang kurang. Tidak ada
tawamu. Tidak ada ceritamu. Tidak ada kamu. Tidak ada lututmu yang bolak-balik bersinggungan
dengan lututku. Kadang sengaja kau benturkan lututmu dengan lututku saat kau merasa
sebal dengan kejadian yang pernah kau alami. Atau ketika kamu terkekeh dengan cerita konyolku.
Tidak ada lagi orang duduk di lantai. Pelayanan kereta api maju pesat. Tidak ada lagi jatah tiket tanpa nomor tempat duduk. Kau ingat, dulu, empat tahun lalu saat aku dan kamu duduk di kursi ini, ada penumpang yang duduk di lantai, tepat di depan ujung kaki kamu.
Tidak ada lagi orang duduk di lantai. Pelayanan kereta api maju pesat. Tidak ada lagi jatah tiket tanpa nomor tempat duduk. Kau ingat, dulu, empat tahun lalu saat aku dan kamu duduk di kursi ini, ada penumpang yang duduk di lantai, tepat di depan ujung kaki kamu.
Namun bagiku, kereta masih tetap sama. Menyuguhkan kenangan.
Menawarkan perenungan. Menyajikan kesepian. Memanggil kembali memori cerita yang
belum usai. Menjala kenangan di samudera ingatan. Kereta menghentikan ceritamu. Menghentikan
tawamu. Menghentikan kenyamananku.
Hingga detik ini, aku tidak punya kesempatan itu lagi. Kamu sudah
berpindah kota, sementara rektorku belum bisa menggeser tali togaku. Jangankan kesempatan
duduk di bangku dalam kereta yang sama, duduk di kedai kopi, menikmati
secangkir Cappuccino dan cheese cassava seperti yang kau pesan
dulu, pun sepertinya urung terjadi.
Bagaimana ibukota? Bagaimana rasanya berdesakan di KRL di
jam pulang kerja? Bagaimana makanan di sana? Katanya tingkat kriminalistas di Jakarta
tinggi? Katanya ibukota tidak aman bagi perempuan? Kamu gimana, baik-baik saja? Dan masih banyak segudang pertanyaan yang berkelibatan di kepala.
“Permisi, mas, bisa lihat tiketnya?”
Sentuhan bapak petugas di bahu kanan membuyarkan lamunanku. Perlu
beberapa detik untuk merogoh seluruh saku celana dan jaket.
*
Pandangan kuarahkan kembali ke jendela. Kepala kusandarkan
ke sudut sandaran kursi yang berimipitan jendela. Penyuara telinga kupasang
kembali. Lagu Resah milik Payung Teduh mengalun pelan.
Aku menunggu dengan sabar
Di atas sini, melayang-layang
Tergoyang angin, menantikan tubuh itu
Empat tahun. Kini. Kamu sudah berpacar. Sementara hatiku
tak lagi berpendar. Gulita tak jua pudar. Memberikan kepahitan tak tertakar.
“Ini aku lagi apa, sih?” gumanku sembari mencabut penyuara
telinga dari telinga.
Aku mengembuskan nafas panjang. Lucu memang. Aku dan kamu tidak pernah ada ikatan
lebih dari teman. Bahkan menulis kata "kita" saja aku tidak berani. Lantas, kenapa aku harus kacau? Aku tidak berhak, kan?
Aku dan kamu tidak seperti kereta. Aku dan kamu lebih condong ke kapal. Sejatinya aku dan kamu
tidak pernah dalam kapal yang sama. Kamu di pesiar, tidak menyadari ada aku di atas jukung
yang berharap bisa ikut naik ke pesiar. Berdampingan tetapi tidak bersama. Lalu
terpisah, meski tujuannya sama. Kau sudah terlebih dulu sampai di dermaga, lalu bersiap melanjutkan perjalanan. Dengan nakhoda yang memberimu rasa aman dan
kenyamanan. Kau memanggilnya "Lelakiku."
Aku harap, kau sudi berdiri di buritan kapal. Melihat ke belakang.
Di sela-sela percikan air laut. Ada aku, di atas jukung, mendayung dengan lengan
kendur yang mulai tremor dan nafas tersengal. Mencoba mengejar pesiar yang kian menjauh. Mencoba menyelesaikan
apa yang aku mulai. Kuliah.
Kita Kapal. Bukan Kereta
Reviewed by Tomi Azami
on
21:59
Rating:
Kenangan di kereta yang cukup manis. :) Kenapa foto berdua dia yang dipotret nggak sengaja dan tampak kusam tidak dipamerkan di sini, Tom?
ReplyDeleteMau bilang itu fiksi tapi ah sudahlah
Delete“Jikalau kita tidak bisa duduk di kursi pelaminan. Setidaknya kita pernah duduk di kursi kereta yang sama.“
ReplyDeleteya Allah ini kok bikin galau dan baper ya hahahha, iya itulah kenapa naik kereta asik karna bisa liat sawah-sawahh, plus dapet kenangan manis yang ga terlupakan, iya gak? wheheeh
Ya belum tentu juga, Ki. Dulu pernah dapet kenangan yang hadehh juga, duduk sama bapak-bapak cerita anaknya mulu ekekek
DeleteYa belum tentu juga, Ki. Dulu pernah dapet kenangan yang hadehh juga, duduk sama bapak-bapak cerita anaknya mulu ekekek
Deletehahaha, dalam. Yang satu di pesiar, yang satunya di.... ah sudahlah :)
ReplyDeleteJangan diterusin, Jev.
DeleteWqwq
Wadaw. Tomi Azami Ngademi Aitakata ternyata bisa nulis yang sweet-sweet lirih juga. Tapi tetap sih apaan coba ada soal kusem kayak kertas burem ujian MTK hahahahahahahahahahahahak.
ReplyDeleteBelum pernah naik kereta, dan karena baca ini aku lagi dan lagi pengen naik kereta biar punya kenangan yang mbaperin. Huaaaaaaaa :(
Hei anda ini yha~~ aku ini diam-diam tida merayap lho
DeleteHeh, Cha, nga tiap naik kereta itu dapet kenangan yang baperin yha hemm hemm tolong dicatat
saya nungguin poto di kereta berdua itu padahal... nggak ada rupanya.
ReplyDeletekapal pesiar juga punya kemungkinan untuk terbelah, barangkali saat terbelah itu dia hendak menumpang di jukung yg sama. walo gabaik sih berharap pesiar itu untuk terbelah.
dalem banget itu kisahmu, Tom. apa karena saya ngerasa relate dan ngerasain itu juga, ya?
Maaf membuat anda kuciwa silakan datang lain kali wqwq
DeleteNais aidi, Bang Haw. Meriam aja pesiarnya agar supaya hei tida bole yha
Ah, suka sekali tulisannya. Ada part di tulisan ini yang relatable sama aku :p
ReplyDeleteDipuji sama penulis yang karyanya uda difilmkan, terima kasih, kak Indi.
DeleteWew bagian mananih
memang benar, patah hati adalah loyalti.
ReplyDeletetulisanmu jadi sedep gini ya mas kalau kamu lagi menderita..
terus-terusin aja...
eh.
*ditampolBakyak
Heh..heh..koe Iki yha hemm emangnya kuini bawang mera apa
DeleteIni fiksi yg rasanya sperti nyata pngalaman pribadi yah.. Wahahaa.
ReplyDeleteSudahlah, gausah dikejar lg bang.. Dia sudah bahagia dgn yg lain. Lebi baik cari kebahagian sendiri dgn mencarinya sambil mendayung jukung. Eh jukung tuh apaan sih btw?._.perahu kyak sekoci gtu?
iya kah hahaha makasih
Deleteiya. jukung=sekoci
Dalam banget mas.
ReplyDeleteSampe rasanya nyesek.
geser mas kalau sesek hhh
DeleteTulisanmu enak Tom ..
ReplyDeleteMenurutku kereta memang memberi banyak kenangan ya, nggak harus selalu dengan seseorang yang berarti. Hanya sekedar duduk dan menikmati pemandangan lewat jendela ternyata bisa buat kangen.
btw, tulisan 2018 dimana ya letaknya?
wah, makasih mas
Deletehehe pertanyaaanya dalem, mas
Wah, suka sama tulisannya.
ReplyDeleteNaik Kereta Api kalau nggak ada gangguan dan benar-benar bisa sendiri memang membawa kenangan tersendiri ya.
wah, makasi, mz
Delete